Ruko King Safira Residence B2 No.02 Sepande – Sidoarjo

Ibroh Keluarga Nabi Ibrahim AS


10 Dzulhijah 1432 H bertepatan Ahad, 6 Nopember 2011 seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah 1432 H, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah.

Dan Hari ini juga kita kembali di ingatkan kepada kisah seorang kholilulloh kekasih Allah SWT, nabi Ibrahim as yang Allah uji kecintaannya, antara cintanya kepada keluarga ( nabi Ismail as dan Siti hajar ) dan cintanya kepada Allah. Alhamdulillah cintanya kepada Allah melebihi dari segalanya, hal ini membuat kita bahkan nabi Muhammad SAW harus mengambil pelajaran darinya.

Di dalam Al Qur’an :

“Sesungguhnya telah ada contoh teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia.” (QS. Al Mumtahanah: 4)


Maka, setidaknya ada Empat pelajaran yang terdapat dari kisah nabi Ibrahim as dan keluarganya:

Pesan Pertama: Berbaik sangka kepada Allah SWT

Di dalam kitab; Anbiyaa Allah ( Nabi – Nabi Allah) di karang oleh Ahmad Bahjat beliau menjelaskan.

Pada suatu hari, Ibrahim as terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia memerintahkan kepada istrinya, Siti Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.

Ibrahim as melangkahkan kaki menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak di tumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan, tidak ada minuman, tempat itu menunjukkan tidak ada kehidupan di dalamnya.

Di tempat itu beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan tempat itu.

Tentu saja Siti hajar terperangah diperlakukan demikian, dia membuntuti suaminya dari belakang sambil bertanya “Ibrahim hendak pergi ke manakah engkau?” Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?

Ibrahim as tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan, Siti hajar kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi Ibrahim as tetap membisu. Akhirnya Siti hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia bertanya, “apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami? Ibrahim menjawab, “benar“. Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu berkata, ”kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami. Dia-lah yang telah memerintahkan engkau pergi. Kemudian Ibrahim terus berjalan meninggalkan mereka.

Lihatlah, bagaimana nabi Ibrahim dan Siti hajar, mampu berbaik sangka kepada Allah SWT mereka meyakini bahwa selagi mereka bersama Allah, maka tidak akan ada yang menyengsarakannya, tidak akan ada yang dapat mencelakainya, tidak akan ada yang dapat melukainya.

Bila kita lihat banyaknya manusia yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka akan tetapi karena sedikitnya husnu dzon (berbaik sangka) kepada kebaikan Allah, Padahal nikmat yang Allah berikan lebih banyak dari pada siksanya. Oleh karena itu kita harus berbaik sangka kepada Allah karena Allah menjelaskan dalam hadits qudsi bahwa Dia sesuai prasangka hambanya;

Dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah saw.: Allah berfirman: “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku; jika ia mengingat-Ku dalam jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku; dan jika ia mengingat-Ku dalam lintasan pikirannya, niscaya Aku akan mengingat-Nya dalam pikirannya kebaikan darinya (amal-amalnya); dan jika ia mendekat kepada-ku setapak, maka aku akan mendekatkannya kepada-Ku sehasta; jika ia mendekat kepada-ku sehasta, maka aku akan mendekatkannya kepada-ku sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan menghampirinya dengan berlari. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Manusia wajib berbaik sangka kepada Allah apa pun keadaannya. Allah akan berbuat terhadap hamba-Nya sesuai persangkaannya. Jika hamba itu bersangka baik, maka Allah akan memberikan keputusan yang baik untuknya. Jika hamba itu berburuk sangka, maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya. Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan hambanya yang berbaik sangka kepada-Nya.

Seorang hamba yang bijak adalah mereka yang senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak merasa dimuliakan dengan kenikmatan duniawi tersebut. Jika ia diuji dengan penderitaan atau kekurangan, ia merasa bahwa Allah sedang mengujinya agar ia dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.

Kita harus belajar kepada Siti hajar walaupun dia seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian di tinggalkan suaminya di padang pasir yang gersang, tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah maka Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Allah pasti akan membantunya, kisah ini bukan hanya untuk Siti hajar saja, kisah ini bukan untuk zaman itu saja, akan tetapi kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman bahwa Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala hal.

Pelajaran kedua: Mencari rezeki yang halal

Setelah Ibrahim as meninggalkan istri dan anaknya untuk kembali meneruskan perjuangannya berdakwah kepada Allah. Siti hajar menyusui Ismail sementara dia sendiri mulai merasa kehausan. Panas matahari saat itu menyengat sehingga terasa begitu mengeringkan tenggorokan. Setelah dua hari, air yang di bawah habis, air susunya pun kering. Siti hajar dan Ismail mulai kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis, kegelisahan dan kekhawatiran membayangi Siti hajar.

Ismail mulai menangis karena kehausan. Kemudian sang ibu meninggalkannya sendirian untuk mencari air. Dengan berlari – lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian dia naik ke atas bukit itu. Di taruhnya kedua telapak tangannya di kening untuk melindungi pandangan matanya dari sinar matahari, kemudian dia menengok ke sana kemari, mencari sumur, manusia, kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap pandangan matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa dan berlari – lari kecil sampai di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu, barangkali dari sana dia melihat seseorang, tetapi tidak ada seorang pun.

Hajar turun dari bukit Marwa untuk menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus menangis . tampaknya sang bayi benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia kembali ke bukit Shafa dan naik ke atasnya. Kemudian dia ke bukit Marwa dan naik ke atasnya, Siti hajar bolak – balik antara dua bukit, Shafa dan Marwa, sebanyak tujuh kali.

Ada rahasia yang jarang di kupas dari kejadian ini..

Yaitu kesungguhan Siti hajar dalam mencari air di keluarkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan Marwa, walaupun bolak balik dari Shafa dan Marwa belum mendapatkan air dia terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ada di dekat anaknya sendiri. Ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput rezeki dengan mengeluarkan segala kemampuan yang kita miliki karena Kita di perintahkan bukan Cuma melihat hasil tapi juga usaha dan tenaga yang kita keluarkan, Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang yang bekerja keras.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasulullah melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitaman seperti lama terpanggang matahari.

Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu ?’

Sa’ad menjawab, ‘ Wahai Rasulullah, tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku,’
Seketika itu, Rasulullah mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, ’Inilah tangan yang tidak pernah tersentuh api neraka,’

Hikmah dari kisah ini yaitu terdapat tanggung jawab seorang Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari dalam menafkahi anak dan istrinya melalui rizki yang halal. Tangan yang semata-mata berada di jalan Allah SWT dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan Amanah.

‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang giat bekerja.’ (HR. Thabrani).

Rasulullah SAW bersabda,“Tidaklah sekali-kali seseorang itu makan makanan lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan Nabi Daud AS itu makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari).

Bahkan Allah SWT berfirman:

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah: 10)

ayat ini memotivasi kita untuk bekerja keras, setelah melaksanakan shalat karena dengan bekerja kita akan mendapatkan rezeki yang halal.

Berhati-hatilah terhadap barang haram yang masuk ke tubuh kita, karena tidaklah tubuh yang di dalamnya ada barang haram kecuali neraka adalah lebih berhak untuk menjadi tempat kembalinya.

Rasulullah SAW: Wahai Sa’ad, murnikanlah makananmu, niscaya kamu menjadi orang yang terkabul doanya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggamanNya. Sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama empat puluh hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya. (HR. Ath-Thabrani)

Dan juga ketika tubuh termasuki dengan barang haram maka selama 40 hari amal ibadahnya tidak di terima Allah akan tetapi dosa – dosa yang diperbuatnya di catat oleh malaikat.

Pelajaran yang ketiga: Berkorban untuk Allah SWT

Ketika Ismail bertambah besar, hati Ibrahim as tertambat kuat kepada putranya. Tidak mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim sudah tua. Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah hendak menguji kecintaan Ibrahim as dengan ujian yang besar disebabkan cintanya itu.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash Shaaffat: 102 )


Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim as pada saat itu? Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya? Salah besar jika ada yang mengira bahwa tidak ada pergulatan pada diri Ibrahim as. Tidak mungkin ujian sebesar ini terbebas dari pergulatan batin. Ibrahim berpikir,” mengapa? Ibrahim membuang jauh-jauh pikiran itu. Bukan Ibrahim namanya jikalau beliau mempertanyakan kepada Allah “mengapa” atau “karena apa“ karena orang yang mencintai tidak akan bertanya mengapa? Ibrahim hanya berpikir tentang putranya, apa yang harus beliau katakana kepada anak itu, saat beliau hendak membaringkannya di atas tanah untuk disembelih?

Ibrahim mengambil jalan yang paling baik, yaitu berkata yang jujur dan lemah lembut kepada putranya, ketimbang menyembelihnya secara paksa.

Lihatlah kepasrahan dan pengorbanan Ismail dan ayahnya Ibrahim mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta Allah. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang Allah. Walaupun yang dikorbankan adalah diri Ismail.

Sadarkah kita, bahwa saat ini kita sedang di ajari oleh seorang anak dan ayahnya tentang makna pengorbanan kepada Allah dalam segala hal di kehidupan ini,

Kata kurban dalam bahasa Arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah“


Akan tetapi, pengertian korban bukan sekadar menyembelih binatang korban dan dagingnya kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara filosofis, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.

Dalam konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam di Mekah ketika itu. Umat Islam disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy. Rasulullah pernah ditimpuki dengan batu oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh Ibnu Muith, ketika leher beliau dicekik dengan usus onta, Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas di tengah sengatan terik matahari siang, Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama Sumayyah, ditusuk kemaluan beliau dengan sebatang tombak.

Tak hanya itu, umat Islam di Mekah ketika itu juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, bagaimana lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah SAW. saat-saat diboikot oleh musyrikin Quraisy, hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.

Pelajaran keempat adalah Mendidik Keluarga

Nabi Ismail tidak akan menjadi anak yang penyabar jika tidak mendapat pendidikan dari ibunya dan Siti hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar jika tidak di didik oleh nabi Ibrahim as. Dan nabi Ibrahim as tidak akan dapat sabar jika tidak didikan dari Allah SWT melalui wahyuNya.

Seorang anak dalam perkembangannya membutuhkan proses yang panjang, maka peran orang tua dalam membentuk perilaku yang berakhlaq mulia sangat dibutuhkan, perhatian sempurna kepada anak semenjak dari masa mengandung, melahirkan hingga sampai masa Kewajiban ini diberikan di pundak orang tua oleh agama dan hukum masyarakat. Karena seseorang yang tidak mau memperhatikan pendidikan anak dianggap orang yang mengkhianati amanah Allah. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa Allah Swt. Pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang perlakuan mereka kepada anaknya.

Sumber: Khutbah Idul Adha Dakwatuna.com

Tinggalkan Balasan

Search

Popular Posts

  • Nikmati Hidup dengan Bismillah
    Nikmati Hidup dengan Bismillah

    Pasca turunnya surat Al-‘Alaq, setiap kali akan memulai sesuatu, Rasulullah selalu membaca, “Bismika Allahumma dengan namaMu Ya Allah.”Kemudian setelah surah Hud ayat 52 turun Rasulullah merubah kalimat itu menjadi “Bismillah; dengan nama Allah.” Dengan begitu sempurnalah segala aktivitas yang dimulai dengan membacanya.

  • Doa Memohon Negeri yang Aman dan Makmur
    Doa Memohon Negeri yang Aman dan Makmur

    رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ Artinya:“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

  • 5 Tanda Haji Mabrur
    5 Tanda Haji Mabrur

    Mendapatkan haji mabrur adalah dambaan setiap jamaah haji yang beribadah ke tanah suci. Tentu karena haji merupakan ibadah wajib bagi yang mampu, haji juga menjadi sebuah usaha untuk mendapatkan nilai keimanan yang lebih baik. Dan untuk mendapatkan haji mabrur tidaklah mudah. Bahkan banyak ulama yang berpendapat bahwa yang mendapatkan haji mabrur tidaklah banyak.

Categories

Eksplorasi konten lain dari KSPPS Harapan Ummat Sidoarjo

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca